Sponsor Ads Here
Searching...
Tuesday, March 13, 2018

Mengenal Tentang Business Process Reengineering (BPR)

March 13, 2018

Dewasa ini untuk bisa bertahan dalam persaingan dunia usaha, perusahaan membutuhkan efiensi dan melakukan inovasi-inovasi untuk mempertahankan pangsa pasar yang sudah ada maupun untuk merebut pangsa pasar baru. Keadaan di negara ini yang makin tidak kondusif, kekerasan semakin meningkat, suhu politik yang memanas membuat iklim perekonomian negeri ini menjadi tidak menentu. Untuk itu, perusahaan harus melakukan efisiensi di segala bidang agar dapat menekan biaya untuk dapat meningkatkan daya saing.

Perkembangan teknologi dan komunikasi telah memungkinkan perusahaan untuk dapat mengevaluasi mekanisme koordinasi baik di dalam maupun di luar perusahaan. Saat ini, perusahaan tidak dapat lagi bekerja secara tradisional. Dengan penggunaan teknologi yang tepat dapat mengurangi beban pekerjaan yang tidak diperlukan sehingga jumlah karyawan pun dapat dikurangi. Selain itu, karyawan pun pada akhirnya akan tidak akan terbebani dengan pekerjaan yang berlebihan.

Definisi Business Process Reengineering (BPR)


Banyak yang salah persepsi atas pengertian BPR dan mengartikan bahwa BPR sama dengan restrukturisasi. Sesungguhnya, konsep BPR bukanlah dengan maksud untuk mengurangi jumlah karyawan, ataupun mengurangi pekerjaan yang ada tetapi lebih kepada ‘melakukan sesuatu yang lebih dengan sumberdaya yang sudah ada’. Jadi BPR tidaklah sama dengan restrukturisasi.

Menurut Hammer dan Champy (1993, p32) rekayasa ulang adalah pemikiran fundamental dan perancangan ulang secara radikal atas proses-proses bisnis untuk mendapatkan perbaikan secara dramatis dalam tolak ukur performance seperti biaya, kualitas, pelayanan, dan kecepatan.

Kata-kata kunci yang memegang arti dalam definisi tersebut dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu:

1. Fundamental
Dalam melakukan rekayasa ulang, sebagai orang bisnis harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar yang berkaitan dengan perusahaan dan bagimana cara mengoperasikannya. Pertanyaan pertama adalah mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan dan pertanyaan kedua adalah mengapa kita melakukan hal tersebut dengan cara yang kita lakukan sekarang. Pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar tersebut akan memaksa orang untuk melihat aturan-aturan tak tertulis dan asumsi-asumsi yang berlaku dan menjadi dasar dalam penyelenggaraan bisnisnya. Perusahaan harus mampu menemukan apa yang harus dilakukan oleh perusahaan dan kemudian menentukan bagaimana melakukannya. Sering terjadi bahwa aturan-aturan dan asumsi yang dimiliki oleh perusahaan sudah usang, salah atau tidak sesuai lagi dengan proses bisnis yang ada.

2. Radikal
Merancang ulang secara radikal berarti mulai dari akar permasalahan bukannya membuat perubahan-perubahan yang superfacial atau berkutat dengan apa yang sudah ada, tetapi melempar jauh-jauh yang lama. Mengesampingkan semua struktur dan prosedur yang ada dan menciptakan cara-cara yang sama sekali baru dalam menyelesaikan pekerjaan.

3. Dramatis
Rekayasa ulang bukanlah tentang upaya mencapai peningkatan secara inkremental, tetapi tentang pencapaian suatu lompatan besar (quantum leaps) dalam hal kinerja perusahaan secara dramatis. Terdapat tiga jenis perusahaan yang diidentifikasi perlu mengadakan rekayasa ulang yaitu:
  1. Perusahaan-perusahaan yang sedang menghadapi masalah besar dan tidak memiliki pilihan lain.
  2. Perusahaan-perusahaan yang belum atau sedikit mengalami kesulitan tetapi manajemen mereka mempunyai pandangan ke depan melihat masalah yang segera akan datang.
  3. Perusahaan-perusahaan yang berada dalam kondisi puncak, belum ada kesulitan yang nampak, baik sekarang atau yang akan datang, tetapi manajemen sangat ambisius dan agresif.

Proses merupakan yang paling penting di dalam definisi oleh James Champy dan Michael Hammer, yaitu merupakan sekumpulan aktivitas yang memerlukan satu atau beberapa jenis masukan (input) dan menghasilkan keluaran (output) yang mempunyai nilai bagi customer. Sebagian besar praktisi bisnis tidak berorientasi terhadap proses, melainkan mereka memusatkan perhatiannya pada tugas-tugas, pekerjaan, sumber daya manusia maupun struktur.

Sedangkan Lowenthal (1994) mendeskripsikan rekayasa ulang sebagai dasar/fundamental untuk berpikir ulang dan melakukan desain ulang terhadap proses operasi dan struktur organisasi; memfokuskan kepada kemampuan inti organisasi untuk mendapatkan peningkatan secara dramatis dalam kinerja organisasi.

Manganelli dan Klein (1994) mendefinisikan BPR sebagai proses mendesain ulang yang cepat dan radikal dan perubahan dari strategi, bisnis proses serta sistem yang memiliki nilai tambah, aturan dan struktur organisasi yang mendukung mereka – untuk mengoptimalkan work flows dan produktifitas di dalam organisasi.

Faktor-faktor Pendorong Rekayasa Ulang


Faktor-faktor yang mendukung dilaksanakannya proses rekayasa ulang di bisnis menurut Grant Thornton (1994) adalah:
  • Reduced cost (Mengurangi Biaya) 84%
  • Improve Quality (Meningkatkan Kualitas) 79%
  • Increase speed (Meningkatkan Kecepatan) 62%
  • Overcome a competitive threat (Mengatasi Ancaman Persaingan) 50%
  • Change the organization structure (Mengubah Struktur Organisasi) 35%
  • Others (Lainnya) 9%

Menurut Johansson, McHugh, Pendlebury dan Wheeler (1995, p58) suatu ukuran kinerja yang menjadi tujuan utama dari reka ulang dapat berupa:
  • Pengurangan waktu siklus
  • Pengurangan biaya dan peningkatan laba
  • Meningkatkan efisiensi melalui peningkatan produktivitas dan beban kerja dari sumber daya

Untuk mencapai tujuan utama dari reka ulang maka perlu melakukan perubahan terhadap proses yang ada dengan cara:
  • Menghilangkan bagian proses yang tidak penting
  • Menerapkan teknologi pada bagian yang memungkinkan
  • Pemberdayaan dengan mengalihkan tanggung jawab pengambilan keputusan dan kontrol kepada level dimana pekerjaan dilakukan
  • Memperbaiki alur kerja dengan penekanan pada fungsi yang memberikan nilai tambah
  • Menetapkan kriteria pengukuran yang berguna untuk analisis dan pembuatan rencana strategis.

Tahapan-tahapan Rekayasa Ulang


Menurut Davenport (1993), tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam rekayasa ulang proses bisnis adalah:
  1. Membuat visi bisnis dan menetapkan tujuan, mencakup prioritas dari obyektif dan mengevaluasi kemampuan dari perusahaan dalam melakukan suatu perubahan
  2. Memahami proses yang ada yaitu dengan membuat suatu model dan mengukurnya untuk dijadikan sebagai basis dan mengetahui letak terjadinya permasalahan.
  3. Mengindentifikasikan proses yang akan dirubah, dengan fokus pada critical success factors yang paling memungkinkan untuk dirubah.
  4. Mencari peluang pemakaian teknologi informasi pada bagian-bagian yang sesuai. Penentuan dimana teknologi informasi dapat diterapkan pada proses bisnis yang ada serta kemampuan departemen teknologi informasi didalam perusahaan untuk terlibat secara aktif di dalam proses rekayasa.
  5. Membuat model/prototype dari proses baru yang lebih ramping, efisien dan efektif serta mensimulasikannya untuk memperkirakan kinerja kerjanya.

Rekayasa ulang memiliki fokus pada inovasi, kecepatan, pelayanan dan kualitas. Rekayasa ulang menyediakan proses yang super efisien yang membawa pada peningkatan yang radikal. Lima tahap dalam melakukan rekayasa ulang menurut Victor S.L. Tan (1994, p37-41) adalah:


1. Memahami proses yang sedang berlangsung
Langkah pertama adalah mendokumentasikan alur proses bisnis yang terjadi saat ini, sampai dengan melakukan interaksi dari unit-unit yang melakukan proses dalam level organisasi. Alur proses dapat menggambarkan hubungan masukan dan keluaran antara supplier, unit organisasi dan pelanggan. Pemahaman secara menyeluruh terhadap proses yang berlaku saat ini akan menjadi dasar dalam membuat rancangan proses baru yang lebih baik.

2. Mencari titik lemah proses saat ini
Tahap ini merupakan tahap kritis dimana penerimaan asumsi terdahulu akan dipertanyakan. Dalam kenyataannya, untuk mendorong solusi yang kreatif, serangkaian pertanyaan perlu ditanyakan: mengapa prestasi proses yang sedang berlangsung hanya seperti sekarang? Apakah ada kegiatan dalam proses sekarang yang tidak memberikan nilai tambah? Apakah ada aktifitas yang hilang dalam proses yang dapat memberi nilai tambah? Unit organisasi mana yang seharusnya terlibat atau tidak terlibat dalam proses?

3. Menyelidiki alternatif rancangan ulang
Pencarian proses revolusional yang dapat memberikan peningkatan performa secara signifikan memerlukan pendekatan yang kreatif. Hal ini berarti melanggar dan mengabaikan model-model kuno, peraturan dan perintah yang berlaku. Kecuali kalau perusahaan meninggalkan paradigma yang lama, proses baru akan dengan sederhana memberikan peningkatan perbaikan terhadap proses kerja normal. Dalam memikirkan alternatif-alternatif, harus dilakukan usaha untuk menilai apakah proses saat ini dapat dirancang secara berbeda. Pengaruh proses baru harus dapat dinilai sebagai alternatif yang diusulkan.

4. Mencari informasi yang diperlukan untuk mendukung proses rekayasa ulang.
Informasi merupakan kunci dalam menjalankan fungsi pada proses baru. Maka sangat penting untuk menguji perubahan informasi yang diperlukan untuk mendukung proses baru. Penilaian harus dilakukan sepanjang informasi yang dibutuhkan antara unit organisasi, sehingga saluran komunikasi terbaik untuk informasi ini harus dipertimbangkan.

5. Melakukan tes kelayakan terhadap rancangan proses yang baru
Langkah akhir dari proses rekayasa ulang adalah mengidentifikasi sumber-sumber tambahan seperti sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Hal ini diperlukan untuk memastikan keberhasilan proses yang baru. Walaupun formulasi dari proses baru seharusnya tidak dihambat dengan kekurangan sumber-sumber daya, dalam kenyataannya adalah bahwa sebagian besar organisasi kemungkinan besar menilai kelayakan implementasi berdasar ketersediaan sumber daya. Karena itu sangat penting untuk mengadakan tes kelayakan sebelum memberi rekomendasi proses baru itu diimplementasikan.